Menangislah…
Isak tangis para sahabat yang sedang duduk mengelilingi Rasulallah SAW, mengherankan seorang pemuda yang ikut duduk di majlis. Mereka semua menangis terisak, bahkan Nabi sendiri menyampaikan nasehatnya dengan suara parau. Sedang si pemuda, tak setetespun air mata keluar dari kelopak matanya.
Isak tangis para sahabat yang sedang duduk mengelilingi Rasulallah SAW, mengherankan seorang pemuda yang ikut duduk di majlis. Mereka semua menangis terisak, bahkan Nabi sendiri menyampaikan nasehatnya dengan suara parau. Sedang si pemuda, tak setetespun air mata keluar dari kelopak matanya.
Ia menanyakan “kejanggalan” ini kepada Nabi, dan beliau menyebutkan penyebabnya
yaitu kerasnya hati. Nabi juga menguraikan berbagai penyebab yang saling bertaut
hingga mengeraskan hatinya, dan kesemuanya bermuara dari hubbud dunya, atau
cinta kepada dunia yang berlebihan hingga melupakan akhirat.
Air mata tidaklah asing bagi manusia. Siapapun mereka, pasti pernah menagis,
meneteskan air mata. Menangis merupakan ungkapan yang paling “murah” yang
timbul dari perasaan. Saat ditinggal kematian seseorang, atau menghadapi
berbagai cobaan yang berat, air mata begitu akrab dengan kita. Sedang bagi anak
bayi, tangis merupakan alat “komunikasi” yang paling ampuh untuk menarik
perhatian orang.
Air mata yang menetes karena luapan emosi, baik kesedian, kegembiraan maupun
karena tidak tahan mengalami penderitaan, kesemuanya merupakan gejala yang
normal. Justru seseorang yang tak pernah menangis, dikhawatirkan seperti pemuda
di atas, alias mempunyai hati yang keras.
Dalam Islam, air mata terkadang dijadikan barometer untuk mengukur kadar
keimanan seseorang. Cukup banyak ayat Al-Quran dan hadits Rasulallah SAW yang
menyebutkan mengenai keutamaan menangis. Dalam Al-Quran, Allah mensifatkan
orang-orang yang berilmu dengan mereka yang apabila dibacakan ayat-ayat Allah,
“menyungkurlah muka mereka (bersujud) sambil menangis dan bertambah khusyu’”
(QS. 17; 109) Dalam ayat yang lain, “Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang
Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menagis”
(QS. 19; 58)
Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bertutur, “Tidak akan masuk neraka,
seseorang yang menangis karena takut kepada Allah”. Dalam sabdanya yang lain,
“Setiap mata akan menangis di hari kiamat kelak, kecuali mata yang menangis
karena takut kepada Allah, dan mata yang berjaga di Jalan Allah”. Dan masih
cukup banyak hadits lain yang menerangkan mengenai keutamaan menangis karena
takut kepada Allah.
Kesemua tangisan di atas, merupakan air mata yang diridhoi Allah, bahkan
mempunyai nilai yang tinggi, namun tak semua air mata akan diridhoi-Nya.
Tangisan histeris karena ditinggal kematian seseorang (nihayah) misalnya,
merupakan tangisan yang dilarang dalam Islam. Begitu juga dengan mereka yang
menangis karena riya’ atau berpura-pura.
Nilai tangisan, bukan ditentukan oleh kuantitas si pencucur air mata, namun
kualitas jauh lebih menentukan. Bagaimana tidak? Sedang Rasulullah SAW
bersabda, jika dalam satu ummat terdapat seseorang yang menangis karena Allah,
niscaya Dia akan merahmati ummat itu karena tangisan seseorang tadi.
Hadits di atas mengingatkan kita tentang “nasib” perjalanan ibu pertiwi.
Mungkin puluhan ribu liter air mata telah menetes dari pelupuk mata rakyat jelata
hingga presiden, namun Allah masih enggan untuk mengangkat cobaan yang menimpa
negeri ini. Kita jangan mencurigai kebasahan sabda Nabi di atas, namun yang
perlu kita cermati, apa motivasi mereka dalam menangis.
Ribuan orang menangis meratapi kematian keluarga mereka akibat konflik antar
golongan. Yang lain menangis hanyut dalam doa, sayangnya bukan lillaahi ta’ala,
tapi lil partai atau juga lil tokoh yang digandrunginya. Para anggota dewan
hingga presiden menangis terharu, bahkan keluar dari rumah dengan dua sapu
tangan, yang katanya sebagai air mata syukur karena terpilih atau tercapai
keinginannya.
Mereka yang tertimpa berbagai musibah menangis tersedu, meratapi nasib yang
semakin tak menentu. Para pelaku KKN di masa lampau hingga kini juga berdoa
khusyuk hingga menangis, bahkan “menyewa” kyai dan santrinya untuk membantu
berdoa agar kasusnya tak terkuak. .
Kesemua tangisan di atas, terbukti kurang –kalau tidak dapat dikatakan tidak –
bernilai di sisi Allah. Karena yang diperlukan tangisan penyesalan, bukan
ratapan. Tangisan takut kepada Allah, bukan syukur atas jabatan. Tangisan
taubat, bukan luapan emosi ditinggal kematian. Tangisan di sajadah
masing-masing di malam hari, bukan di tengah lapangan. Tangisan yang timbul
dari hati, bukan dari pikiran.
Mungkin saking jengkelnya melihat tingkah polah manusia, awan pun turut
menangis tanpa henti, hingga banjir di sana sini. Dengan tambahan cobaan ini,
berarti bertambah pula alasan kita untuk menangis.
Bencana longsor, banjir, gempa bumi dan entah bencana apa lagi, bukan tidak
mungkin akan susul menyusul di hari-hari mendatang. Namun harapan agar
terhindar dari bencana dan cobaan susulan masih terbuka. Nabi mengajarkan agar
kita berdoa, karena doa merupakan sarana untuk menampik qadha’ Allah yang cukup
ampuh. Bahkan beliau bersabda, “Tidak ada yang mampu menolak qadha’, keculai
doa”.
Menangis dan berdoa termasuk alternatif penyelesaian, namun yang termasuk
darurat, adalah mengulurkan bantuan bagi mereka yang tertimpa musibah.Upaya
untuk penanggulangan juga wajib terus diupayakan, termasuk mengusut para “raja
hutan” pemakan kayu, anjuran agar tidak membuang sampah sembarangan dan
tindakan lain untuk menghindari bencana banjir susulan dan di waktu yang akan
datang. .
Setelah itu semua, kita perlu memperbanyak doa dan menangis dari lubuk hati.
Semoga tangisan salah satu di antara kita akan mampu menurunkan rahmat Allah,
hingga berbagai bencana dan krisis yang ada segera diangkat-Nya.
Jazzakumulloh khoiron katsiron...
__________________
"Harus ada segolongan dari kamu yang mengajak pada kebaikan, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan merekalah orang yang beruntung lagi bahagia."
( Qs Al-Imron. 104 )
"Harus ada segolongan dari kamu yang mengajak pada kebaikan, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan merekalah orang yang beruntung lagi bahagia."
( Qs Al-Imron. 104 )
0 komentar:
Posting Komentar